Hari ini mengigatkanku atas kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat itu, hujan turun dengan lebatnya, seakan langit ingin merendam seluruh permukaan bumi. Dan bersama itu tak henti jatuh air mata di tanah merah yang basah itu. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut orang-orang itu. Hanya untaian do’a dalam hati yang tertuju pada penghuni makam itu.
Dan yang paling mengiris hatiku, penghuni makam itu adalah orang yang selama ini ku panggil Ayah. Betapa tidak, orang yang selama ini menjadi penyemangat hidupku sudah tak berada di dunia ini lagi. Aku sangat menyesal karena, disisa hidupnya itu aku terlambat mengucapkan kata terima kasih. Sungguh penyesalan tiada akhir bagiku.
Teringat di kala aku masih duduk di bangku SD, Ayah selalu mengantarku kemana pun aku pergi. Aku sangat bahagia pada waktu itu. Hari-hari ku jalani dengan indahnya saat bersama dengannya. Sampai suatu hari bencana menerpa diriku.
Sampai pada suatu hari, aku melihat mata Ayah yang basah, dan tubuhnya yang bergetar sambil memegang kertas di tangannya.
“Ayah, kenapa menangis?” Kataku
Ayah tetap diam. Tapi entah kenapa dia menatapku dengan dalam, setelah menatapku tangis Ayah semakin pecah. Baru kali ini aku melihat Ayah menangis. Sesaat kemudian Ayah memelukku, dan dia berkata padaku,
“Sahara kamu yang tabah ya,” kata Ayah. Tapi aku masih tidak mengerti, apa maksudnya itu.
“Memangnya kenapa, Ayah?” Aku pun menjawabnya setelah termangu beberapa saat.
“Kamu, kamu mengidap kelainan ginjal,” kata Ayah sambil menahan tangisnya yang makin menjadi.
Aku masih tidak mengerti apa yang Ayah katakan. Aku baru mengerti saat aku merasakan sakit yang luar biasa di bagian perutku. Tiap dua minggu sekali aku harus cuci darah. Dan itu membuat tubuhku sangat lemah. Ayah selalu menemaniku kemanapun aku pergi.
Hal ini berlangsung sampai aku menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), sungguh aku sangat iri melihat teman-temanku yang normal. Kadang aku mengeluh dan mengira Tuhan tidak sayang padaku. Tapi ternyata semua itu salah, di balik semua penyakitku itu aku adalah sisw yang berprestasi. Ku masih sangat bersyukur kerena, aku masih bisa membanggakan kedua orang tuaku.
Sangat bahagia rasanya ketika ku tangkap keharuan sekaligus kebanggaan dalam senyumnya. Dan aku sangat tidak ingin melenyapkan senyum itu. Hanya satu kata yang ku dengar dari mulutnya.
“Ayah sangat bangga padamu nak,” kata-kata itu selalu terngiang di telinga ku. Satu kalimat yang sangat memotivasi diriku, untuk menjalani hidup di tengah penyakit yang ku derita ini.
***
Sampai suatu hari aku merasakan sesuatu yang lain di badanku, kepalaku pusing serasa bumi berputar dengan cepatnya. Seketika langit berubah warna dan menjadi hitam. Aku tidak ingat apapun setelah itu. Yang ku dengar hanya sayup-sayup suara teman-temanku itupun sangat lemah dan hamper tidak terdengar.
***
Saat aku membuka mata, aku berada di ruangan yang bernuansa putih. Apakah aku berada di rumah sakit? Kenapa aku bisa berada di sini? Di sampingku ada Ibu yang duduk sambil menangis tersedu. Ku lihat matanya merah, semerah saga.
“Ibu kenapa menangis? Ayah di mana bu?” Tanyaku.
“Ayah mu sudah…” Jawab Ibu menggantung seperti ada yang disembunyikan dari aku
“Sudah kenapa bu? Kenapa Ayah tidak datang menjenguk Sahara? Kenapa?” Kataku beruntun
“Ayahmu sudah dipanggil Tuhan, Sahara. Kamu yang sabar ya,” tangis Ibu pecah.
“Itu tidak mungkin bu! Ayah tidak mungkin meninggalkan Sahara sendiri!” Aku sangat terkejut mendengar semua itu.
“Itu semua nyata nak, kamu harus ikhlas ya,” kata Ibu seraya menghiburku.
Aku tidak bisa lagi menahan tangisku. Aku merasa dunia ini runtuh, aku seperti tidak mempunyai semangat hidup lagi. Ternyata Ayahku meninggal karena aku. Karena waktu aku pingsan Ayah dengan terburu-burunya ingin datang ke rumah sakit untuk melihat keadaanku, dalam dia tertabrak truk yang melaju dengan kecepatan timggi. Dan Tuhan telah berkehendak, Dia telah mengambil Ayahku kembali. Dan yang paling menyayat hatiku, aku belum mengucapkan kata maaf terakhir padanya.
***
Hujan turun derasnya membasahi bumi yang saat ini gelap gulita. Membasahi tanah merah yang baru saja berpenghuni itu. Ayahku meninggal dengan bibir tersenyum. Senyum yang sama seperti dulu. Aku baru tahu asal senyum yang tersemt dibibirnya itu. Ayah telah menyumbangkan ginjalnya untuk aku. Ibuku berkata,
“hanya satu harapan Ayahmu, yaitu kamu harus sembuh.” Kata ibu saat itu.
***
Hingga saat ini semua itu masih saja membayangi pikiranku. Tapi, aku tidak mau terpuruk dengan semua itu. Sekarang aku sudah menjadi dokter di rumah sakit ternama di Indonesia. Ingin sekali aku mengucapkan kepadanya bahwa aku telah melakukan apa yang dia inginkan. Namun apa daya aku tak bisa, hanya satu yang pasti aku tahu Ayah melihat semua yang telah ku capai sekarang.
Ayah namamu selalu ada di hatiku sampai kapan pun, walau kita tak bisa berjumpa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar